Selama ini terdapat suatu pengertian yang salah kaprah terhadap gaya “Bunjin” dalam Bonsai. Ada yang mengatakan gaya Bunjin adalah gaya “Tua renta”, Bonsai tersebut harus terkesan kurus, tinggi, tua dan merana… Saya kurang paham, dari mana asal-usul pengertian tersebut, mungkin hanya rekaan sendiri; padahal, gaya ini jelas-jelas disebut sebagai “Bunjin” (Bh. Jepang) atau “Literati” (Bh. Inggris) yang artinya adalah “Pujangga”; dalam bh. Mandarin disebut “Wen-ren”.
Menurut buku dan literatur seni Bonsai Cina, sangat gamblang diulas mengenai asal-usul, sejarah gaya tersebut baik dari segi budaya maupun politik yang mempengaruhinya serta makna filosofisnya.
Seperti kita ketahui, seni Bonsai berasal dari Cina dan sudah berkembang lebih dari 1300 tahun yang lalu pada jaman Dinasti Tang. Pada saat itu, perkembangan seni sangat pesat, baik seni lukis, patung maupun kaligrafinya dan pengetahuan sastra adalah identik dengan jabatan di pemerintahan.
Oleh sebab itu, banyak bermunculan para pujangga, sastrawan dan cendekiawan yang mempunyai posisi penting di kerajaan karena saat itu system rekrut adalah dengan ujian negara, dan penguasaan seni dan syair adalah salah satu aspek tolok ukurnya.
Bersamaan, seni Bonsai (yang saat itu disebut Penjing) berkembang pesat sebagai salah satu objek seni dalam kalangan kerajaan dan para elit.
Seni Bonsai Cina tidak terlepas dari pengaruh seni lukis Cina, syair maupun seni budaya tradisionil termasuk seni kaligrafi. Dari sinilah kemudian menjadi salah satu inspirasi para seniman Bonsai yang melahirkan gaya Bunjin yang disebut “Shu hua shi penjing” dengan meniru gaya, karakter dan estetika seni kaligrafi yang duluan berkembang; lalu dikemudian hari disebut juga “Wen ren shu” atau penjing gaya pujangga karena yang menciptakannya adalah para pujangga, bukan gaya tua renta seperti pujangga miskin yang sengsara !
Bunjin adalah sebuah gaya seni Bonsai yang sangat penuh filosofi budaya, romantika lirikal sastra, makna intelektual; kaya akan garis dan bentuk yang ekspresionis imaginatif; sehingga dalam cara appresiasinya-pun memerlukan tingkatan wawasan yang memadai dengan renungan dan penafsiran, disertai pemahaman estetika yang kontekstual.
Bunjin adalah sebuah karya yang sangat personal karena di dalamnya terkandung emosi sang artis yang sangat meditative dan contemplative. Dalam hal ini, objek pohon tersebut sekedar medium bagi sang artist dalam merefleksikan gagasan yang ingin disampaikan baik secara implicit maupun eksplicit.
Pada salah satu literatur seni Penjing yang ditulis oleh Shao Hai Zhong, seorang Master Penjing di Shanghai, dirumuskan beberapa karakter dan kriteria Bonsai gaya Bunjin sesuai dengan karakter kaligrafi Cina.
“Zhong xin ping wen”
Penerapan konsep komposisi yang asimetris tetapi berimbang dengan fondasi yang kokoh. Dalam seni kaligrafi Cina, walaupun setiap guratan garis individu bisa saja terkesan kegelisahan yang tidak berimbang, tetapi pada komposisi keseluruhan harus tetap menampilkan keseimbangan yang harmonis.
Sebagai contoh, karya salah seorang maestro kaligrafi Cina, Zhang Da qian justru terkenal karena karakter garisnya yang tidak berimbang, tetapi terbingkai dalam suatu komposisi yang unik dan berkarakter.
Dalam hal ini, ukuran dan bentuk wadah tanam menjadi salah satu elemen komposisi yan sangat penting dalam menunjang keseimbangan penampilan keseluruhan.
“ Xie zhong qiu zheng”
Penerapan konsep keseimbangan visual (visual balance). Walau ritme pohon tidak tegak vertical dan penuh dengan gerak yang dinamis dan dramatis, tetapi keseimbangan visual yang harmonis sangat penting. Setiap liukan harus diimbangi dengan manuver yang menghasilkan keseimbangan visual.
“Shang mi xia shu”
Bunjin adalah suatu gaya yang meniru seni kaligrafi Cina. Struktur kanopi, penempatan percabangan dan ranting serta garis utama batang harus mengesankan kesederhanaan yang ramping dan anggun.
Bunjin harus mampu merefleksikan nuansa yang lirikal, puitis dan romantis.
“Shu mi de yu”
Lebat tetapi tidak rumit. Alur cabang dan ranting harus jelas dan transparan. Ada istilah “Mi ke yong zhen, xu ke pao ma” yang menjelaskan konsep ruang kosong. Penataan ruang kosong pada gaya ini sangat penting dan dituntut suatu kejelian tinggi dalam teori komposisi.
“Chan cha bian hua”
Alur, ritme, tekukan, pelintiran gerak batang, cabang dan ranting harus bervariasi, dinamis dan tidak monoton; tetapi tidak terkesan kontradiktif dan chaos. Dalam gaya Bunjin, garis dasar yang dipakai bisa saja tergabung dari beberapa jenis karakter garis ( ump. garis zigzag yang energik disertai dengan maneuver garis meliuk dan di-release dengan tarikan garis yang luwes); tetapi sangat dibutuhkan kepiawaian dalam pengolahan garis-garis tersebut sehingga terkemas dalam suatu harmonisasi yang sinkron dan sinergis.
“Qu rou zhi gang”
Alunan ritme dan gerak harus lembut, tetapi goresan harus penuh energi dan tenaga ibarat gerak senam “Taichi”. Kombinasi antara guratan yang tegas harus diimbangi dengan tarikan yang luwes sehingga terjadi suatu keseimbangan energi yang sinkron dan harmonis. Hal tersebut tidak terlepas dari filsafat “Yin & Yang” yang mengutamakan keseimbangan universal dengan aliran “Qi” yang sempurna.
Oleh sebab itu, ada suatu ilmu di mana melalui goresan dan gerak tulisan; karakter, emosi dan kondisi kesehatan seseorang dapat dibaca.
Dari uraian di atas, seyogianya gaya Bunjin kita terjemahkan sebagai “Gaya Kaligrafi”, dan bukan “Tua renta” !