Seni Rekayasa Tanaman Besar jadi Kecil
Bagi pecinta tanaman istilah bonsai tentu tak asing lagi. Tanaman yang di alam sejatinya raksasa direkayasa sedemikian rupa sehingga bisa hadir dalam bentuk yang mungil tanpa kehilangan kesan tua.
Seni mengerdilkan pohon ini mulai dikenal di Cina, sejak ribuan tahun yang lalu, diserap Jepang dan dikembangkan hingga kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia termasuk Indonesia.
Untuk bisa menghasilkan detail sebuah bonsai yang menampilkan lekuk akar, kekokohan dengan rimbunnya dedaunan bahkan bunga atau buah, dibutuhkan waktu dan ketelatenan yang tidak sedikit.
Untuk bonsai kelas jawara, seniman bonsai malah membutuhkan waktu hingga belasan tahun hingga puluhan tahun agar bisa tampil prima dan menampilkan pesonanya yang membuat penikmatnya tak pernah bosan memandangi.
Seniman bonsai tidak menomorsatukan uang. Tetapi lebih kepada kesabaran, jiwa seni, dan jiwa petualang. Kesabaran diperlukan untuk memelihara sementara jiwa seni berperan saat membentuk tajuk tanaman dan jiwa petualangan diperlukan saat memburu bakalan bonsai dari alam.
“Paling baik memang membuat bonsai dari biji atau stek. Tapi itu butuh waktu lama. Jalan tengahnya ya memburu bakalan bonsai dari alam dan itu tidak gampang. Kadang harus masuk hutan atau berlayar ke pulau-pulau terpencil,”
Jika ogah menantang angin atau diggit nyamuk hutan, bisa juga membeli ‘bahan baku’ dari petani atau pemburu yang biasanya ditampung oleh pengepul dengan rentang harga bervariasi antara Rp5000 hingga setengah juta.
Bahan baku itu lantas mulai dibentuk dengan kawat aluminium atau tembaga ukuran 1 hingga 6 mm untuk memberikan kesan patah, berkibar atau merunduk tertiup angin kencang.
Jika tahap pembentukan sudah berhasil maka bonsai berukuran kecil saja harganya bisa mencapai ratusan ribu. Harga akan terus bertambah jika bonsainya disebut sudah jadi dan mendapat kategori A atau juara harganya bisa ratusan juta.
“Namun untuk menghasilkan bonsai seperti itu perlu kesabaran, karena membutuhkan waktu hingga belasan sampai puluhan tahun,” ujar Denny Najoan yang menggeluti bonsai sejak umur 17 tahun.
Sementara pembeli perempuan tidak melihat gaya namun lebih suka bonsai yang berbunga atau berbuah karena sedap dipandang.Tak sekedar hobi
Bonsai produk Indonesia punya pesona bagi kolektor dari negara lain. Mulai dari penghobi di Asia Tenggara, Eropa, Amerika hingga Timur Tengah rajin menyambangi pasar dalam negeri.
Pasalnya dari seluruh anggota ASPAC baru Indonesia yang memiliki sistem sertifikasi dan standarisasi bagi bonsai yang dipamerkan. Kriterianya dari madya atau belum pernah pameran dan utama yang menampilkan bonsai unggul.
“Indonesia adalah satu-satunya bahkan negara pertama yang memiliki sertifikasi dan standarisasi di bidang bonsai. Sebentar lagi kita melangkah pada gaya Indonesia,” tutur Denny Najoan.
Adanya sistem sertifikasi dan standarisasi membuat mutu di bidang bonsai bisa terjaga dan diharapkan bisa meningkatkan apresiasi masyarakat awam terhadap seni mengerdilkan pohon ini.
Alasannya sudah menjadi rahasia umum kalau masyarakat Indonesia lebih menghormati bonsai luar negeri yang belum tentu memiliki kualitas baik atau menghargai waktu yang dihabiskan oleh seniman bonsai.
Satu-satunya negara yang memberikan apresiasi penuh terhadap bonsai adalah Jepang. Hasilnya, hobi bonsai adalah hobi prestisius dengan nilai nominal selangit bahkan kadang tak bisa dihargai dengan uang.
Bahkan banyak orang kaya bilang, lebih baik beli bonsai daripada beli mobil mewah dan jangan ngaku kaya kalo belum ada bonsai dirumah.. Bagaimana dengan Anda?